
Suara itu datang kembali, bahkan semakin keras dari sebelumnya. Hingga Ari diselimuti rasa takut suara itu seorang menghantui hidupnya “Ari..Ari..” suara lirih yang terulang ulang tak kunjung terpecahkan.
Ari, santri baru asal Jakarta, umurnya baru beranjak 14 tahun, dan masih tawar dengan tradisi-tradisi pesantren, bahkan ia tidak bisa bersarung ala anak pesantren, Ari belajar di pondok pesantren Al-Hikmah Semarang.
Jalan setapak membelah tanah yang dipenuhi ilalang-ilalang Panjang. Yaitu satu-satunya jalan yang menghubungkan permukiman santri dan Madrasah. “wuush” suara semilur angin kala menerpa rumput Panjang itu melayangkan lantunan ayat-ayat Al-Qur’an. Para santri rampung dari kegiatan belajar, kembali kebilik masing-masing melewati jalan setapak itu bersama-sama, kecuali Ari, ia berjalan sendirian di barisan paling belakang. Mungkin ia belum akrab dengan mereka, sebar rasa sungkan yang masih menekan. Tiga meter kisaran selisih jarak dari gerombolan santri itu. Ari terpaku oleh suara lirih terbawa angin, yang mengendap-endap menyentuh gendang telinga.
“Ari..Ari..” ia bingung seraya mengernyitkan dahi, sambil menoleh kanan dan ke kiri.
“Tak ada apa-apa, paling hanya angin lewat”
bukan satu dua kali suara itu memanggil, bahkan berkali-kali. Sontak saja ia berlari terbirit-birit, mendesak dan menerobos kerumunan santri yang tengah melangkahkan kaki. Salah satu dari mereka pun jatuh tersungkur ke rumput-rumput itu. “maaf..!” jerit Ari memanjang, sedangkan anak itu kesal karena sorakan dan tawaan.
***
“Apa itu tadi?” gumam Ari, sambil terengah-engah ia bingung.
“Mungkin aku yang salah dengar” positif thinking semata-mata yang ia bisa. Pasalnya tak ada yang jelas kata itu.
“Apa yang terjadi kepadamu?” Riski, teman pertama yang ia kenal di sana, baru saja menapakkan kaki di lantai keramik kamar yang bermotif zaman dahulu.
“Tidak apa apa, aku kaget ada kucing keluar dari rumput tadi” jawab Ari, seakan menyembunyikan apa yang terjadi.
“Kalo begitu ayo cepat, kita berangkat ke Masjid Bersama”
Adzan telah memanggil, senandungnya menyeruak ke empat arah mata angin. Keindahan senja telah luntur, lalu bergantian dengan langit ungu. Para santri larut dalam kekhusyu’an sholat mereka, sedangkan Ari masih saja terjebak dalam kebingungan, sebab di rumahnya ia tak pernah mengalami kejadian seperti ini. Tak ada suara yang tak ada wujudnya dalam keramaian kota Jakarta, kesenangan dan keseruan dalam Trans Studio, deruh motor dan mobil di jembatan Semanggi. Pikiran Ari mlayang kemana-mana membuatnya tak betah dan ingin pulang.
***
Fajar telah menyingsing dari ufuk timur, gerombolan para santri, keluar dari masjid memenuhi jalan pesantren.
“Ari..” teriakan salah seorang santri memanggil dari ujung jalan, sambil berlari mendekat
“Ada apa?”
“Kiai As’ad mencarimu, menyuruhmu ke kediamannya sekarang juga” sambil terengah-engah khadim (orang yang mengabdi pada kyai) mengabarkan.
“Untuk apa?”
“Entahlah”
“Oke terima kasih” seketika itu Ari bergegas menuju kekediaman kiai As’ad.
Rumah besar bergaya Joglo, seperti rumah-rumah yang dihuni bangsawan di tanah jawa. Berlatar luas di sekitarnya, dengan pagar bambu menancap di tanah. Gerangan duduk santai beranda. Seraya menjaga kediaman. Ari pun melangkah mendekatinya. Sorot pemuda itu menatap Ari, sekilas keduanya saling bersitatap. “Ari ya?” “ya” “silahkan, langsung kedalam. Beliau sudah menunggu sejak tadi” seketika Ari bergegas menaiki tiga anak tangga di teras rumah itu. Hanya daun pintu sebelah kanan yang terbuka, dari sepasang pintu bercatkan biru. Ia mengendap-endap masuk, seiring menguluk salam dengan lembut.
“Asslamaalaikum” panelangan Ari, mendapati pria tua dengan jenggot yang agak memutih, sedang menyeruput secangkir the.
“Wa alaikum salam. Duduk di sini!” kata pak kiai, sembari menyuruh Ari duduk di samping. Ari hanya bisa mengiyakan apapun yang keluar dari lisan beliau. Laksana budak yang diperintah majikannya.
“Di belakang rumah ada ruangan terkunci, masuklah kedalam dan di samping kanan pintu, ada rak menempel di dinding, di situ juga ada kotak kecil, ambillah dan bawa kemari, khadim di depan akan menemanimu, tapi ia tak boleh masuk. Ingat! Hanya kamu yang boleh masuk ke ruang itu. Ini kuncinya” jelas pak kiai, lalu mengulurkan tangan dan memberi sebuah kunci, Ari membeberkan kedua telapak tangan, dan menerima kunci dari arah bawah, kemudian mencium punggung tangan kanan kiai As’ad, seraya pamit kepada beliau.
Ari keluar, menemui khadim tadi. “Ayo” sahut khadim itu, seolah ia sudah tahu apa yang harus ia lakukan. Ari terdiam, bingung dan bertanya-tanya. Apakah khadim itu menguping pembicaraannya dengan kiai. “Ayo” tegasnya kembali. Sekilas Ari mengabaikan hal itu, lalu pergi Bersama khadim.
Terlihat kamar bercatkan hijau, dengan daun pintu berwarna coklat mulai usang, yang tertutup rapat, juga kaca jendela yang diselimuti oleh debu. Ari mengulurkan kunci, seraya menyodorkan kelubang gembok, kemudian ia memutarnya “ceklek” gembok pun terbuka, ia segera mencopot gembok dari pintu.
“Masuklah! Ku tunggu kau di sini” kata khadim itu. Mungkin ia sudah tahu, ia tak boleh masuk.
Ari beranjak masuk ke kamar itu. Pandangannya berkeliling ke sudut-sudut ruangan, memperhatikan satu-persatu barang yang ada. Sampai mendapati rak kecil di kanan pintu yang menempel pada tembok, Ari pun mendekatinya. Tapi” duaar..” tiba-tiba pintu di dobrak kuat. Ia mengira, pintu didobrak oleh si khadim. Namun, rasa bingung mendalam dan merasuk kediri sang khadim. Sampai ia berteriak minta tolong.
“Tolong…tolong…” teriakannya dari luar.
“Jangan bercanda, cepat buka pintunya!” Ari berteriak sambil marah. Lantaran, ia tak suka candaan yang keterlaluan.
“Bukan aku, pintu nya tertutup sendiri” pengakuan khadim itu tak disangka, dalam kejadian seperti itu pun suara tersebut datang kembali. Bahkan semakin keras dari sebelumnya. Hingga Ari diselimuti rasa takut. Suara itu seolah menghantui hidupnya. “Ari..Ari..” suara lirih yang terulang-ulang tak kunjung terpecahkan.
Tak jenak Ari di dalam ruang itu, ia dikekang oleh rasa bingung dan takut yang bercampur aduk. Seketika itu, ia beranjak menegakkan pilar-pilar keberaniannya, mencoba mencari sumber suara, berjalan kesana kemari, di celah lemari pun ia cari. “sialan! Siapa kau sebenarnya? Tunjukkan dirimu kalau kau berani!” kesabaran Ari terpancing. Ari berteriak sekencang mungkin. Mencaci dan memaki sang pemilik suara, tapi tak terjadi apa-apa suara itu masih saja berseliweran, entah apa sejati maksudnya.
“keluar kau!” teriaknya lagi.
Tiba-tiba, ia dikagetkan oleh getaran lemari coklat, dengan tinggi sedada di pojok ruangan. Getaran itu sangatlah keras, hingga membuat kedua pintunya terbuka, dari mulut pintu, keluarlah asap tebal, juga laki-laki berumur sekitar 15 tahun. Lalu laki itu berkulit putih pucat, bersarung juga bertakwa seragam Madrasah, bak santri sana.
“siapa kau?” tanya Ari kaget, sembari laki-laki itu mendekat. Semata Ari menyangka, bahwa laki-laki itu hanyalah laki-laki biasa. Sebab ia bermuka rusak, juga tak berkaki melayang. “kau yang menyuruhku kemari” jawab laki-laki itu
“Jadi, kau yang selama ini memanggil namaku, hingga aku lari terbirit-birit ketakutan” kata Ari kesal, sambil maju tiga langkah.
“Benar, maafkan aku menakutimu”
“Apa sebenarnya maksudmu?”
“Aku hanya ingin meminta tolong padamu”
“Katakanlah!”
“Tolong sampaikan permintaan mafaku pada Zein. Seorang santri, bermukim di kamar nomer 16”
“Apakah kau malu menyampaikannya seorang diri?”
“Tidak”
“Lantas, kenapa kau meminta tolong padaku?”
“Aku telah terhalang oleh dunia”
“Ha…?”
“Lupakan!” kata laki-laki itu sambil berbalik badan, lalu ia bercerita.
“Dahulu, aku juga belajar di kelas yang kau tempati. Tepat di bagian tengah nomer 2. Zein adalah teman sebangkuku. Ia anak orang kaya. Semua peralatan tulis ia punya. Sedangkan aku, anak orang miskin.Kala itu ujung pensilku patah, aku pun meminjam silet pada Zein, lalu izin pada ustad yang tengah membaca makna jawa.“Ya” kata ustad, sambil mengagukkan kepala.Aku pun beranjak keluar. Jarak tempat sampah dan kelas tak begitu dekat, sehingga aku berjalan beberapa langkah. Di tengah ku meraut pensil, perutku di ganjal rasa mulas yang mendorong untuk pergi ke kamar mandi. Seketika itu aku pergi menuruni tangga, lalu berbelok kea rah utara, memasuki kamar mandi di sana. Ku dorong pintu untuk menutup. “Draak..” pintu berbunyi ketika tertutup rapat, entah dari mana bunyi itu. Mungkin dari engsel pintu, aku mencoba untuk membuka, ternyata pintu macet, tak bisa di buka. Rasa mulas terganti dengan rasa khawatir. Aku menjerit minta tolong, takut tak bisa keluar. Ku Tarik daun pintu beberapa kali. Namun, taka da yang terjadi. Ku kumpulkan seluruh tenaga, kemudian ku tarik pintu dengan kuat. Silet masih saja ku genggam di tangan kana, lupa tak ku masukkan kedalam saku pakaian. Aku terpental kebelakang, tak terasa tepi silet yang tajam dan berkilau menggores ke kulit pergelangan tangan. Menembus ke urat nadi di dalam, ceceran darah merembes kemana-mana, menetes ke lantai basah. Tubuhku mulai tak berdaya, barangkali karena darah yang telah habis di salurannya. Aku pun jatuh, tergeletak dan mati di sana. Sedangkan pintu, masih saja tak bisa di buka.
Jasadku di temukan seminggu setelah kejadian itu. Pintu didobrak oleh tugas kebersihan Madrasah. Aku digotong oleh pihak kepolisian. Silet itu juga dibawa olehnya, untuk bahan penyelidikan. Entah ada dimana silet itu sekarang. Oleh sebab itu, aku takut dipertanyan di akhirat sana. Tolong sampaikan permintaan maafku padanya, seab aku tak bisa mengembalikan silet itu”
“Baiklah” kata Ari sambil melongo. Lalu Ari melanjutkan
“Jadi kau adalah…”
“Sssttt…” seraya meletakkan telunjuknya di ujung bibir. Tiba-tiba pintu ruangan itu di dobrak kencang oleh khadim dan kedua temannya. Sehingga membuat Ari menoleh cepat ke arah sana.
“Apakah kau tidak apa-apa?” tanya khadim itu terengah-engah.
“Alhamdulillah, tidak apa-apa” sekilas ia menoleh kembali ke laki-laki itu, ternyata ia sudah tidak ada. Hanya angin tenang yang tersisa menerpanya.
“Apa benar aku berbicara dengan hantu?” gumam Ari, tak percaya. Namun, ia sangat kagum dengan laki-laki tadi. Lantaran sifat tanggung jawab dan kewaro’aannya yang masih teguh.
“Mungkin benar aku bertemu dengan hantu” batinnya. Karena mereka semua nyata ada di mana-mana. Barang kali salah satu dari mereka ada di belakagmu, menemani membaca seuntai kisah ini.