
Dalam mencetuskan sebuah hukum dari al-Quran maupun hadis, tidak lepas dari yang namanya pertentangan dalil. Dalam istilah ushul hal ini disebut “Ta’ârudhul–Adillah”. Hal itu disebabkan, secara zahir antara kedua dalil saling bertentangan dalam pandangan setiap Mujtahid. Padahal, secara hakikat tidak ada satu dalil syariat pun yang bertentangan dengan dalil lain. Karena dalil syariat berasal dari Allah, dan bukan dari manusia. Hal ini sudah tertera dalam Surah an-Nisa’ ayat 82:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Hanya saja, pertentangan dalil itu bisa diatasi dengan penelitian dan pembahasan yang sangat detail. Maka dari itu, pertentangan dalil semacam ini hanya sebatas zahir saja.1 Yakni masing-masing dari dua dalil yang bertentangan menuntut pada sebuah hukum tertentu pada waktu yang bersamaan. Sedangkan kedua hukum tersebut berbeda.
Syarat Pertentangan Dalil
Tidak semua dalil yang bertentangan bisa dianggap ta’ârudh. Ada beberapa kriteria yang harus terpenuhi. Diantaranya ialah: pertama, masing-masing dari kedua dalil yang bertentangan memiliki sama kuatnya; seperti pertentangan ayat dengan ayat, Hadis Mutawatir dengan ayat, Hadis Mutawatir dengan Hadis Mutawatir, dan lain sebagainya.
Jika dalil yang bertentangan tidak sama kuat, maka tidak dianggap ta’ârudh. Karena dalil yang kuat wajib didahulukan ketika terjadi pertentangan. Semisal, pertentangan ayat dan Hadis Ahad, hadis dan Qiyas. Begitu juga, pertentangan Hadis Shahih atau Hadis Hasan dengan Hadis Dhaif.
Kedua, antara dua dalil sama dalam segi tema, mahallul–hukmi dan waktunya. Jika dua dalil tidak sama dalam segi dalam beberapa hal yang disebutkan, maka keduanya tidak dianggap ta’ârudh. Karena jika waktu diturunkannya dalil tidak sama, maka dalil yang terakhir me-nusakh dalil yang telah ada lebih awal. Seperti substansi dua ayat berikut:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
Dan ayat ini:
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Dalil pertama menjelaskan bahwa istri yang ditinggal wafat suaminya durasi ‘iddah-nya adalah satu tahun. Sedangkan, dalil kedua menjelaskan ‘iddah istri yang suaminya wafat adalah 4 bulan 10 hari. Meskipun secara zahir bertentangan, tapi dua ayat tersebut tidak termasuk dalam kategori ta’ârudh. Karena ayat pertama turunnya lebih dulu daripada ayat yang turun terakhir, sehingga dalil yang kedua dianggap sebagai nasikhbagi dalil pertama.2
Solusi Ta’ârudhul-Adillah
Jika terdapat dua dalil yang bertentangan secara zahir, maka wajib bagi Mujtahid untuk meneliti masing-masing dalil agar pertentangan itu bisa terpecahkan. Adapun metode yang dipakai Mujtahid dalam mengungkap pertentangan dalil yang berbeda-beda adalah sesuai dengan keyakinan yang dianut oleh Mujtahid tersebut. Berikut cara mengurai dalil-dalil yang bertentangan versi Jumhûrul-‘Ulamâ.
Pertama, mengompromikan dua dalil (jam’u) tersebut. Cara ini sering dipakai oleh ulama dalam mengompromikan beberapa dalil sekaligus yang saling bertentangan. Adapun metode yang dipakai banyak sekali, diantaranya menjadikan salah satu dalil sebagai Dalâlah ‘Umum dan dalil lainnya sebagai Dalâlah Khushush; atau menjadikan salah satunya sebagai Dalâlah Muthlaq dan dalil lainnya sebagai Dalâlah Muqayyad; dan seterusnya.
Kedua, men-tarjîh dua dalil. Jika kedua dalil tidak bisa dikompromikan, maka ulama menggunakan metode Tarjîhul–Adillah untuk mengurai pertentangan dalil. Metodenya pun bervariasi. Diantaranya adalah tarjîh bi’tibâris-sanad, tarjîh bi’tibâril–matn, dan seterusnya.
Ketiga, metode Nusakh. Jika cara pertama dan kedua tidak bisa dilakukan, maka Mujtahid akan menggunakan metode nasikh dan mansukh, jika waktu diturunkannya dua dalil tersebut diketahui. Keempat, metode Tasâquthud-Dalîllain. Jika cara-cara tadi tetap tidak bisa dipraktekkan, maka solusi terakhir bagi Mujtahid adalah menggugurkan kedua dalil dan tidak mengamalkannya sama sekali secara bersamaan. Akan tetapi, cara keempat ini sangat jarang dilakukan, bahkan menurut Syekh Abdurrahman Khalaf metode ini merupakan perkiraan saja dan tidak akan pernah terjadi.