kartun santri ramai santri gayeng

Hidup tidak akan selamanya. Semua akan mati pada waktunya. Ketika seorang insan sudah menemui ajalnya, tentu dia tidak akan bisa berbuat apa-apa pada dirinya. Justru orang yang masih hidup akan mengurusi jenazanya hingga sampai pada tempat peristirahatan terakhirnya.

Dalam mengurusi jenazah, ada sebagian tradisi yang dilakukan oleh orang Islam Aswaja, yang kemudian diklaim oleh saudara seislamnya (Wahabi) merupakan perkara yang bid’ah serta tidak punya dasar agama. Tradisi tersebut adalah iringan bacaan tahlil (la ilâha illallâh) saat mengantarkan jenazah ke kuburan; dan bacaan talqin saat selesai menguburkannya. Benarkah klaim mereka di atas? Pembahasan di bawah ini akan menjelaskannya.

Iringan bacaan tahlil pernah dilakukan oleh Rasulullah r. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar t, bahwa beliau berkata: “Tidak terdengar perkataan Rasulullah r saat mangantarkan janazah kecuali ucapan lâ iIâha illallâh ketika pulang dan perginya.” (HR al-Hafiz al-Zaila’i, Nashbur-Râyah li Ahâditsi Hidâyah, II/ 292)

Namun riwayat ini dinilai dhaîf oleh para ulama. Kendati riwayat tersebut berstatus dhaîf, tapi dalam literatul ilmu hadis, hadis dhaîf boleh diamalkan dalam rangka melakukan hal kebaikan (fadhâilul A’mâl). Di samping itu, demi menghindari obrolan-obrolan yang tidak bermanfaat di antara sesama saat mengantar jenazah.

Sementara mengenai bacaan talqin setelah selesai penguburan, suatu ketika Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tuntunilah (kuburan) orang-orang yang mati dari kalian dengan (membaca) lâ ilâha illallâh.” (HR Imam Muslim [1523])

Dalam hadis yang lain, Rasulullah ﷺ bersabda pada seorang shahabat yang sedang berada di kuburan temannya yang baru selesai dikuburkan, “Mintakanlah ampun kepada Allah dan mohonkan agar lisannya ditetapkan untuk menjawab pertanyaan dua malaikat (tatsbît), sebab sekarang dia sedang ditanyakan”. (HR Imam Abu Daud [3223]).

Ibnu Taimiyah (ulama panutan Wahabi) berdasarkan dua hadis di atas menyatakan bahwa talqin kepada mayit adalah sunnah serta diperintahkan agama. (lihat: Ibnu Taimiyah, Majmû’atul-Fatâwa, XXIV/ 165)

Dengan demikian, dua tradisi di masyarakat seputar prosesi pemakaman jenazah tersebut merupakan tradisi legal dalam agama. Wallâhu A’lam.